Kamis, 12 Februari 2015

PAUS PEMBUNUH DI KOFIAU KABUPATEN RAJA AMPAT





Membayangkan traveling ke samudera luas melihat atraksi makhluk raksasa lautan mungkin dapat  menjadikan liburan yang berkesan. Di tempat-tempat berikut para traveler akan diajak menjadi saksi mata atraksi mamalia laut terbesar di dunia. Ya, atraksi ikan paus langsung dari habitat aslinya.

Meskipun hidup di air namun hewan raksasa satu ini bukanlah ikan, melainkan mamalia dalam kelompok cetacea yang berukuran besar. Di tempat-tempat ini traveler dapat menyaksikan berbagai jenis paus, mulai dari paus bungkuk, paus pembunuh atau jenis paus lainnya. Sebetulnya ada banyak tempat yang dapat kita kunjungi untuk melihat paus, namun tidak semua tempat menawarkan pengalaman yang sama. Sekarang Anda akan mendapatkan referensi baru tempat terbaik yaitu salah satunya pulau wallo Kofiau Kabupaten Raja Ampat, Papua Indonesia untuk menonton atraksi paus.


Pulau Wallo adalah nama sebuah Pulau di Kbaupaten raja ampat bagian selatan Negara indonesia. Tempat ini merupakan tempat bersejarah dan sudah menjadi tepat endaratan ikan paus pembunuh atau paus lainnya, namun tempat ini belum dikenal oleh semua Negara  khususnya masyrakat setempat saja yang tahu tempat ini mereka datang ke pulau atau temapt  ini pada bulan-bulan di musim panas. Mengapa musim panas? Pada musim itu akan ada atraksi yang spektakuler di lautan pulau wallo.


Pada rentang bulan Juni hingga September terdapat kawanan ikan paus yang berlalu-lalang di laut ini. Kebanyakan dari paus yang ada di pulau wallo adalah jenis paus pembunu (orcinus orca, rowetroyer). Maka tak heran jika World Wild Live mencatat bahwa pulau wallo adalah tempat terbaik di dunia menyaksikan paus dari dekat. Wisatawan dapat menyaksikan langsung kehidupan mamalia terbesar ini mulai dari ukurannya yang panjang, sirip putih dan percikan air yang ditimbulkan dari lompatan paus ini.

Jika ingin menyaksikan atraksi menegangkan ini ada baiknya Anda menyewa jasa tur yang terpercaya, Speedboat Jou  atau fayam adalah salah satu dari sekian banyak penyedia jasa tour paus yang kredibel.
Walau Pulau Orcas berada di negara bagian Washington, tetapi pulau wallo juga sebagai tempat pendaratannya orcas tepatnya berada di kabupaten raja ampat Indonesia bagian timur yang bisa menjadi spot terbaik utunuk menonton paus secara langsung. Waktu terbaik untuk melihat hewan ini adalah pada akhir Mei hingga September.
Sebagian besar paus yang terlihat di Kepulauan San Juan adalah paus Orcas atau juga dikenal sebagai paus pembunuh. Namun di pulau Wallo  kita juga memiliki kesempatan melihat jenis paus yang lain seperti paus pembunu, paus Bungkuk dan atraksi ikan lumba-lumba di Tanjung lampu tepatnya berada di Kofiau kabupaten raja ampat Indonesia bagian timur. Ada banyak penyedia jasa carter kapal untuk melayani tour paus di pulau ini, salah satunya yang populer adalah Kapal Puti Raja yang sementara mengelilingi Taman-taman kecil pulau Raja Ampat.
Spesies paus yang paling sering di lihat di perainran ini adalah paus Orca. Dan jika kalian ingin melihat paus tersebut maka datanglah pada bulan sekitar Mei hingga september, itu adalah waktu terbaik untuk menonton paus. Untuk jasa tur sendiri ada banyak yang dapat Anda pilih, salah satunya yang populer adalah Kapal Puti Raja atau Speedboat  JOU yang siap menawarkan pengalaman menonton paus di sana.

Itulah salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan kehidupan paus di alam liar yang patut Anda coba. Segera rencanakan liburan Anda ke tempatini dan dapatkan pengalaman wisata seru yang tak terlupakan.
Penulis. Otis Mambrasar.

Kamis, 05 Februari 2015


PELURUSAN SEJARAH RAJA AMPAT
(Papua Gamsio dan Kolano Ngaruha atau Kolano Fat) 
Oleh AMOS MAMBRASAR & MARTHEN FAKDAWER

Sejarah Raja Ampat : Papua Gamsio dan Kolano Ngaruha atau Kolano Fat. Untuk menyatukan persepsi kita tentang apa yang dimaksud dengan tulisan ini, perlu diberikan penjelasan secara umum tentang beberapa hal sebagai berikut :
1. Sejarah, berasal dari kata Sajarah, yang berarti pohon atau silsilah. Dalam pengertian moderen, Sejarah merupakan ceritera tentang asal-usul suatu bangsa, negara, kelompak masyarakat, ataupun seorang tokoh yang berpengaruh. Berbeda dengan ceritera rakyat, Sejarah selalu berceritera tentang suatu peristiwa yang berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak. Ceritera Sejarah harus didasarkan atas fakta-fakta Sejarah yang obyektif, bisa berdasarkan ceritera-ceritera rakyat atau ceritera yang disampaikan oleh leluhur baik secara lisan maupun tulisan, ataupun berdasarkan benda-benda peninggalan sejarah berupa artefak, prasasti, benda-benda purbakala, ataupun bangunan-bangunan kuno pada peradaban masa lampau. 
2. Raja Ampat, dalam pengertian saat ini berarti orang Raja Ampat, juga berarti nama daerah, yaitu kepulauan Raja Ampat yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Papua Barat. Penduduk kepulauan Raja Ampat merupakan campuran dari beberapa suku yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Papua, Maluku, Sulawesi dan Jawa. Mereka ini bermigrasi ke daerah kepulauan Raja Ampat dan sekarang telah membentuk suatu kelompok masyarakat baru yang disebut Orang Raja Ampat. Istilah Raja Ampat dalam pengertian tersebut di atas sebenarnya secara konotatif telah mengalami perubahan dari pengertian aslinya. Istilah Raja Ampat, sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat yang mulanya digunakan untuk menyebut keempat anak Kurawesi yang juga merupakan cucu dari sultan Jamal ud-din, sultan pertama yang memerintah di Tidore pada tahun 1495 – 1512.

3. Papua Gamsio, merupakan nama daerah yang digunakan untuk menyebut wilayah kepulauan Raja Ampat pada masa kekuasaan Sultan Tidore. Wilayah Papua Gamsio pada masa lampau meliputi sebagian daerah kepulauan Raja Ampat yang sekarang, yaitu kepulauan Ayau, Waigeo utara, Waigeo selatan, kepulauan Pam, pulau Kofiau, pulau Batanta, kepulauan Wejim, sampai ke daerah daratan kepala burung pulau Irian (Papua daratan), mulai dari Sausapor di pantai utara sampai ke Wanurian dan Teminabuan di pantai selatan daerah kepala burung pulau Irian. Wilayah Papua Gamsio disebut juga dengan nama Sembilan Daerah Omka atau Negeri Sembilan pada masa kesultanan Tidore.
4. Kolano Ngaruha, sama artinya dengan istilah Kolano Fat atau Korano Fyak (dalam bahasa Biak) atau Raja Ampat (dalam bahasa Indonesia). Istilah tersebut digunakan pada masa kekuasaan sultan Tidore di masa lampau untuk menyebut sebagian daerah yang terletak diwilayah kepulauan Raja Ampat yang sekarang, meliputi daerah teluk Wawiyai di pulau Waigeo, pulau Salawati dan pulau Misol. Istilah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat juga digunakan untuk menyebut kelompok hulu-balang yang mengantar Kapitan Kurawesi dan istrinya Boki Thoibha (Boki Tabai) beserta keempat orang anaknya kembali dari Tidore (Maluku Utara) ke pulau Waigeo di tanah Papua. Kelompok ini disebut kelompok Kolano Fat (baca : Klana-fat), yang berangkat dari Tidore bersama Kurawesi dan keluarganya menuju Waigeo sekitar awal abad ke XVI. 
Dalam penjelasan di atas terdapat dua istilah yang mempunyai pengertian yang sama, yaitu istilah Raja Ampat dan istilah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat. Dengan demikian, untuk lebih mempermudah pengertian kita, dalam tulisan ini penulis akan menggunakan istilah Raja Ampat untuk menyebut orang Raja Ampat, ataupun nama daerah, yaitu kepulauan Raja Ampat yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Raja Ampat di Propinsi Papua Barat. Sedangkan istilah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat akan digunakan untuk 

menyebut keempat orang anak dari Kapitan Kurawesi beserta Kelompok hulu-balang yang mengantar keluarga Kapitan Kurawesi kembali dari Tidore ke pulau Waigeo, yaitu kelompok Kolano Ngaruha atau kelompok Kolano Fat. Istilah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat juga digunakan untuk menyebut nama daerah pada masa kekuasaan Sultan Tidore, yaitu daerah Kolano Ngaruha atau daerah Empat Kolano yang meliputi daerah teluk Wawiyai, pulau Salawati dan pulau Misol. 
Perlu diketahui bahwa pada masa kekuasaan kesultanan Tidore, daerah Raja Ampat yang sekarang dibagi dalam dua wilayah, yaitu wilayah Papua Gamsio yang terdiri dari Sembilan Daerah Omka, dan wilayah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat, yang terdiri dari daerah Empat Kolano (Empat Raja). Menurut (almarhum) Sultan Zainal Abidin Syah “Alting”, Sultan Tidore yang ke 35, yang dinobatkan di Tidore pada tanggal 27 Februari 1947, bahwa Kesultanan Tidore pada masa lampau terdiri dari dua bagian atau dua Nyili, yaitu : (1) Nyili Maluku atau Nyili Gama dan (2) Nyili Papua atau Nyili Gulu-Gulu. Nyili Papua terdiri dari tiga wilayah, yaitu : (a) Wilayah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat ; (b) Wilayah Papua Gamsio yang meliputi Sembilan Daerah Omka; dan (c) Wilayah Mafor Soa Raha.
Wilayah Kolano Ngaruha dan wilayah Papua Gamsio (Sembilan Daerah Omka), keduanya meliputi wilayah kepulauan Raja Ampat yang sekarang sampai ke daerah pesisir kepala burung tanah Papua, mulai dari Sausapor di utara sampai ke Wanurian danTeminabuan di pantai selatan daerah kepala burung pulau Irian. Sedangkan wilayah Mafor Soa Raha atau wilayah Empat Keret Numfor meliputi daerah Teluk Cenderawasih yang sekarang, mulai dari Yapen - Waropen, Biak – Numfor, Teluk Wondama sampai ke Teluk Doreri di Manokwari. Keempat Keret Numfor yang dimaksud adalah Anggradifu, Rumansra, Rumberpon dan Rumberpur atau Waropen.
Dengan demikian, jika kita hendak berbicara tentang SEJARAH RAJA AMPAT, berarti kita akan berbicara tentang sejarah PAPUA GAMSIO (Sembilan Daerah 

Omka) dan sejarah KOLANO NGARUHA atau KOLANO FAT. Perlu diketahui pula bahwa selama ini penulis-penulis seperti De Clerk (1893), Kamma (1949), Polansky (1957), Van der Leeden (1980), maupun Albert Remijsen (2001), yang telah menulis tentang sejarah, etnografi, dan bahasa-bahasa di daerah Raja Ampat, umumnya hanya menulis tentang Kolano Ngaruha atau Kolano Fat, tapi tidak pernah manulis tentang Papua Gamsio. Hal ini menyebabkan sejarah tentang Papua Gamsio agak terlupakan bahkan hampir tidak dikenal. Melupakan Papua Gamsio, berarti melupakan sejarah orang Papua yang telah berabad-abad menempati daerah kepulauan Raja Ampat ini sebalum kedatangan para migran dari Maluku Utara maupun dari daerah lain diluar tanah Papua.
Penulisan-penulisan yang berat sebelah dari penulis-penulis tersebut di atas menimbulkan suatu penafsiran yang salah kaprah serta menciptakan suatu image yang keliru dan menjerumuskan kita semua yang menganggap bahwa orang Raja Ampat asli adalah orang Ma’ya atau Makia (baca : Makian). Pada hal kenyataannya tidak demikian, karena mereka ini aslinya merupakan orang-orang dari kelompok Kolano Fat yang datang ke tanah Papua bersama Kapitan Kurawesi dan keluarganya dari Tidore. Mereka ini datang dan tinggal dengan leluhur Kapitan Kurawesi (dari suku Omka) di kampung Wawiyai sebelum menyebar ke Teluk Manyailibit (orang Laganyan), Salawati dan Misol mengikuti perpindahan anak-anak Kapitan Kurawesi. Dengan demikian, perlu diluruskan bahwa penduduk asli kepulauan Raja Ampat ini adalah orang Omka di pulau Waigeo, orang Bata di pulau Batanta, orang Tepin-Fiawat di pulau Salawati dan orang Matbat di pulau Misol. 
Berikut yang lebih fatal lagi adalah nama “Kepulauan Raja Ampat “ itu sendiri, nama ini mengundang masalah karena nama tersebut memperkuat image bahwa pemilik dari kepulauan yang terletak di ujung barat tanah Papua ini adalah orang-orang Kolano Ngaruha/Kolano Fat, karena mereka inilah yang pertama kali menggunakan istilah “Raja Ampat” sehingga apabila kepulauan ini disebut “Kepulauan Raja Ampat” maka anak cucu mereka yang lahir dan 

besar di kepulauan ini sekarang menganggap bahwa ini adalah tanah leluhurnya. Keadaan inilah yang sekarang terjadi, dan masalah ini harus segera diluruskan. 
Sudah waktunya untuk kita meluruskan Sejarah Raja Ampat, yaitu bahwa Sejarah Raja Ampat perlu dilihat dan diceriterakan kembali dari sudut pandang orang Papua yang mendiami Kepulauan Raja Ampat ini sejak dahulu kala (sejak 3000 tahun Sebelum Masehi), sebelum kedatangan para migrant dari luar. Selama ini sejarah Raja Ampat selalu ditulis atau diceriterakan dari sudut pandang dan kepentingan kesultanan-kesultanan di Maluku, yaitu kesultanan Tidore, KesultananTernate, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Hal ini menyebabkan orang Maluku (khususnya yang berasal dari daerah Halmahera Selatan) yang ada di Raja Ampat, lebih berperan dalam sejarah Raja Ampat dibanding orang Papua di Raja Ampat. Ini merupakan satu kekeliruan besar yang terjadi selama ini tanpa disadari oleh kita semua. 
Jika kita hendak menulis tentang sejarah Raja Ampat, maka tulisan tersebut haruslah membahas secara obyektif dan berimbang tentang sejarah Kolano Ngaruha/Kolano Fat dan sejarah Papua Gamsio (Sembilan Daerah Omka). Kita tidak bisa membahas salah satu saja dan mengesampingkan yang lain seperti yang dilakukan oleh penulis-penulis Belanda tersebut di atas, karena mereka hanya mendapatkan informasi dari salah satu pihak saja dan tidak dari kedua belah pihak, baik dari Kolano Ngaruha/Kolano Fat maupun dari Papua Gamsio. Melalui tulisan ini penulis berusaha seobyektif mungkin untuk memaparkan secara jelas dan berimbang tentang Sejarah Raja Ampat yang meliputi wilayah Papua Gamsio dan Kolano Ngaruha, dengan harapan agar kita semua dapat memahami dan mengerti sifat kemajemukan kita sebagai “Orang Raja Ampat”. 
Dimasa lalu sebutan “Orang Raja Ampat” ditujukan kepada para pengikut atau hulubalang yang mengantar Kurawesi beserta istri dan keempat orang anaknya yang berangkat dari Tidore menuju pulau Waigeo di tanah Papua. Exodus ini berlangsung pada sekitar awal abad ke XVI pada masa pemerintahan Sultan Syech Mansur (sultan ke-2 di Tidore) pengganti sultan Jamaludin di Tidore. 

Para pengantar ini sampai sekarang masih bertempat tinggal di Papua yaitu di pulau Waigeo, Salawati dan pulau Misol di kabupaten Raja Ampat. Mereka tetap menggunakan bahasa asal daerahnya yang berasal dari daerah Halmahera Selatan, yaitu bahasa Ma’ya atau Makia (baca Makian) yang berasal dari enam bahasa Makian Dalam, yaitu bahasa Buli, Maba, Patani, Sawai, Gani dan Taba. Sebagian besar dari mereka tetap memeluk agama Islam yang dibawanya dari daerah asal yaitu dari Tidore, sedangkan sebagian kecil memeluk agama Kristen. 
Pada masa sekarang pengertian istilah “Orang Raja Ampat” sudah mengalami perubahan. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut orang-orang yang tinggal di daerah yang juga disebut daerah Kepulauan Raja Ampat yang sekarang menjadi Kabupaten Raja Ampat, mulai dari kepulauan Ayau di utara sampai ke pulau Misol di selatan. Mereka ini terdiri dari berbagai macam suku seperti suku Biak, Omka, Bata, Waropen, Moi, Tepin, Matbat, Jawa, Buton, termasuk kelompok Kolano Fat atau Kelompok Raja Ampat yang datang dari Tidore, seperti tersebut di atas. Sudah bukan waktunya lagi istilah “Raja Ampat” menjadi milik satu kelompok tertentu atau milik orang Kolano Fat atau Klanafat, karena istilah ini sudah menjadi milik kita bersama yang sekarang menyebut identitas kita sebagai “Orang Raja Ampat”. Orang Kolano Ngaruha atau Kolano Fat di Raja Ampat harus ikhlas memberikan istilah tersebut, sebaliknya orang Beser /Betew, Wardo dan Usba, yang mewakili orang Papua di Raja Ampat harus ikhlas pula menerima istilah “Raja Ampat” ini menjadi milik bersama seperti yang sudah kita lakukan selama ini sehingga melahirkan Kabupaten yang disebut “Kabupaten Raja Ampat” yang sekarang. 
Sudah bukan waktunya lagi kita saling mengklaim tentang siapa “Orang Raja Ampat” yang sebenarnya. Kita tidak perlu lagi saling memojokkan dengan kata-kata seperti “saya yang asli Raja Ampat, kamu bukan asli Raja Ampat”. Kata-kata seperti ini sangat tidak etis diucapkan dilingkungan masyarakat kita di daerah Raja Ampat ini yang terdiri dari beraneka ragam suku, bahasa dan budaya. 

Tujuan utama penulisan ini adalah untuk membuka mata hati kita agar dapat memahami siapa diri kita sebenarnya. Melalui pemahaman tersebut diharapkan dapat tercipta suasana yang damai, saling menghargai, saling menghormati satu sama lain yang bermuara kepada terbentuknya persatuan dan kesatuan orang Raja Ampat yang lebih erat lagi seperti yang telah ditanamkan oleh leluhur kita melalui kelompok “BEOSER atau BESER atau BETEW (dalam lafal bahasa Omka)”, yang artinya “BERSATU”. Kelompok Beser yang sekarang ini terdiri dari berbagai macam suku yang ada di Raja Ampat, antara lain suku Omka, Biak, Waropen, Moi, Bata, Tepin, Matbat, termasuk pula suku-suku dari daerah Halmahera Selatan yang berbahasa Ma’ya atau Makian dan diharapkan terus berkembang mencakup suku-suku lain yang berdiam di Kepulauan Raja Ampat ini, seperti Buton, Jawa, serta masih banyak lagi suku-suku yang lain.
Publikasi. Otis Mambrasar, S. Hut

Rabu, 04 Februari 2015

Manfaat Ekonomis Lola bagi Masyarakat Kofiau

Manfaat Ekonomis Lola bagi Masyarakat Kofiau

Menurut Efrion Watem, sebagai nelayan lokal di pulau Kofiau, lola adalah salah satu jenis hasil laut yang terdapat di pulau Kofiau dan memiliki nilai jual yang cukup untuk menghidupkan ekonomi masyarakat. Lola juga tidak memerlukan proses pengolahan yang  panjang sehingga nelayan lebih senang untuk mencari lola karena bisa dijual di mana saja dan kapan saja.

Banyak sekali masyarakat di pulau Kofiau yang memanfaatkan lola sebagai sumber pendapatan utama karena cangkang lola memiliki bobot yang cukup berat bila ditimbang. Satu cangkang lola dalam ukuran besar bisa mencapai satu kilogram dan harganya mencapai Rp 40.000 per kilogram. Lola juga bisa dibuat sebagai hiasan rumah dan juga sebagai mata kalung.
Tidak sulit untuk mencari lola. Efrion Watem sering mencari lola pada malam hari dengan menggunakan lampu gas atau petromak. Menurutnya, mencari lola pada malam hari sangat mudah karena malam hari lola keluar dari bawah karang untuk  tinggal di pinggiran karang. Lola juga ada satu musim yang besar yaitu dari bulan September sampai November.
Nelayan lokal di Kofiau menyatakan bahwa di seluruh pulau Kofiau dan Boo terdapat lola yang cukup banyak, dan lola merupakan salah satu biota laut yang mendominasi di perairan Kofiau dan Boo.
Lola sangat mudah untuk didapat dan prosesnya sangat mudah. Tidak sama dengan biota lain yang membutuhkan waktu yang panjang untuk pengolahannya, lola bisa dijual pada saat masih hidup atau masih ada isinya, dan juga bisa dijual pada saat mati atau tanpa isinya.


Nelayan di Kofiau biasanya mencari lola dengan cara menggunakan masker atau kaca molo untuk bisa melihat secara leluasa di dalam air ketika menyelam untuk mencari lola pada siang hari. Tetapi ada juga cara lain, yaitu menggunakan lampu gas atau petromak pada malam hari dengan perahu seman. Dengan cara seperti ini, tidak perlu untuk menyelam ke dalam air.
(Teks: Yance Umpain Foto dan Editing Otis MAmbrasar/TNC)


Ekosistem Mangrove di Kepulauan Kofiau dan Boo

Ekosistem Mangrove di Kepulauan Kofiau dan Boo


Mangrove, atau yang umum disebut dengan bakau atau mange-mange oleh masyarakat di Raja Ampat, merupakan salah satu jenis tumbuhan yang hidup dan tumbuh di daerah kering di pinggiran pantai. Jenis pohon atau ekosistem ini banyak terdapat di kepulauan Kofiau dan Boo.
Ekosistem mangrove berfungsi sebagai tempat perlindungan ikan, dan biota laut lainnya seperti teripang, kima atau bia garu, lobster, dan juga sebagai pelindung pantai dan kampung dari badai atau gelombang. Mangrove juga biasanya digunakan oleh masyarakat lokal yang berada di kepulauan Kofiau untuk membangun rumah, sebagai kayu bakar dan obat tradisional.
Selain berfungsi sebagai rumah bagi biota laut dan pelindung kampung dari hempasan ombak, dahulu mangrove juga dimanfaatkan oleh masyarakat Kofiau untuk pembangunan rumah.


Hal ini dilakukan oleh masyarakat karena pada tahun 1970-an belum ada peralatan yang dapat masyarakat gunakan untuk membelah kayu balok seperti gergaji mesin. Pada tahun 1990-an masyarakat Kofiau sudah jarang mengunakan mangrove  sebagai bahan bangunan rumah dan hanya memanfaatkan mangrove kering untuk kayu bakar.
Orang tua pada masa dahulu belum mengerti ataupun tahu bahwa mangrove penting bagi kehidupan biota laut untuk bertelur dan berkembang biak yang nantinya akan memberi nilai ekonomis bagi kehidupan masyarakat.
Setelah adanya sosialisasi lingkungan hidup oleh The Nature Conservancy (TNC) pada tahun 2005 hingga sekarang ini, masyarakat pun memahami hal ini dan mulai mengurangi pengambilan pohon mangrove untuk pembangunan rumah dan jembatan.
Oleh sebab itu, sekarang masyarakat pun sudah ikut melindungi ekosistem mangrove yang ada di kepulauan Kofiau dan Boo.
(Penulis: Naftali Manggara, Editing Otis Mambrasar)
(Foto: Dwi Aryo Tjipto Handono/TNC, Feri Latief)



Ikan Kerapu, Andalan Masyarakat Kofiau

Ikan Kerapu, Andalan Masyarakat Kofiau
Di pulau Kofiau, ada sejenis biota laut yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat Kofiau yang namanya Kerapu. Kerapu adalah sejenis ikan yang sangat unik di laut Kofiau yang lebih dikenal dengan nama lokal sebagai ikan Geropa. Jenis ikan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat Kofiau untuk kebutuhan ekonominya.


Ikan kerapu atau Geropa dapat ditangkap dengan cara memancing biasa. Setelah para nelayan masyarakat Kofiau mendapat hadan danging dari ikan kerapu ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat Kofiau mendapat hasilnya masyarakat menjualnya ke pengusaha yang ada di kampung Deer, Balal dan Tolobi sebagai penada di wilayah Kofiau dan selanjutnya akan di jual ke kapal penampung.
Selain masyarakat menjadikan jenis ikan ini sebagai salah satu mata pencaharian, tapi juga untuk dimakan. Menurut Efrion Watem sebagai nelayan lokal di pulau Kofiau menyatakan bahwa di pulau Kofiau terdapat 4 jenis ikan kerapu yakni, GH, Tonseng, Saiseng, mulut tikus dimana harganya yang bervariasi atau berbeda-beda. Jenis GH harga bisa mencapai Rp. 70.000/kg, Saiseng sekitar Rp. 60.000/kg, sedangkan Tonseng bisa mencapai Rp. 200.000/kg, dan mulut tikus mencapai Rp. 250.000/kg
Ikan kerapu juga dapat diolah menjadi ikan asin atau ikan garam. Proses untuk pembuatan ikan kerapu menjadi ikan asin adalah, pertama membersihkan sirip da nisi perut ikan tersebut, kemudian belah menjadi dua. Setelah itu, oleskan garam kasar pada daging ikan, dan bungkus dengan karung atau di simpan dalam drum selama satu hari satu malam, lamanya penyimpanan tergantung cuaca pada hari itu.


Setelah disimpan kurang lebih satu malam, besihkan kembali lalu di jemur pada para-para yang terbuat dari kayu selama kurang lebih 4-6 hari hingga kering. Setelah ikan tersebut sudah kering dengan baik dapat dijual ke penadah di kampong Deer, Balal, atau Tolobi dengan harga Rp 20.000/kg. Apabila dijual langsung ke Sorong bisa mendapatkan sekitar Rp 25.000 - Rp 27.000/kg.
Efrion Watem juga menyampaikan bahwa empat jenis kerapu tersebut masih banyak didapat di perairan Kofiau dan Boo, sehingga setiap nelayan lokal maupun nelayan dari luar yang mancing dengan menggunakan pancing dasar mudah mendapatkan hasil yang banyak dan memuaskan.
Sampai pada saat ini banyak masyarakat yang mendiami di Kofiau memanfaatkan sumber daya alam lautnya dengan baik. “Karena kerja sama masyarakat Kofiau dengan The Nature Conservancy (TNC) untuk melakukan pengawasan, sehingga laut itu menjadi aman dan kami masyarakat Kofiau muda mendapatkan hasil laut kami” kata Efrion Watem.
(Teks: Kepas Waropen - Editor: Otniel Effruan & Nikson Watem)
(Foto: Yohanes Maturbongs/TNC & Feri Latief)

Publikasi. Otis Mambrasar/TNC




PEDULI TERHADAP ALAM BAWAH LAUT KOFIAU UNTUK DI LIDUNGI

Pulihnya Ekosistem Terumbu Karang di Kofiau

Pulau Kofiau dan Boo merupakan salah satu kawasan perairan dalam Segitiga Karang Dunia yang terletak di Raja Ampat. Dengan luas Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) mencapai 170.000 hektar, perairan Kofiau dan Boo memiliki tingkat keanekaragaman jenis terumbu karang yang tinggi serta dihuni oleh beragam habitat biota laut.



Terumbu karang merupakan mahkluk hidup yang tumbuh besar dan menjadi rumah bagi ikan. Ikan dapat berlindung, bertelur dan berkembang biak di hamparan terumbu karang. Secara ekologis, terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang berfungsi sebagai penangkal ombak, akan tetapi terumbu karang juga dapat mengalami kerusakan akibat dari aktivitas manusia. Tidak sedikit nelayan dari luar yang datang ke wilayah Kofiau dan Boo untuk mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak yang merusak ekosistem terumbu karang di perairan Kofiau dan Boo. Penggunaan bahan peledak tersebut dapat mematikan kulit-kulit karang sehingga memperlambat masa pertumbuhan karang. Dampak dari kegiatan yang merusak ini adalah rusak atau patahnya  terumbu karang, matinya segala biota yang berada di sekitar daya ledaknya.  Kematian dan kerusakan yang diakibatkan pun sangat besar sehingga hal ini juga menyebabkan berkurangnya perkembangbiakkan ikan dan biota lainnya yang berada di sekitarnya.


Nelayan yang menggunakan bom ikan selalu datang ke perairan Kofiau dan Boo pada musim angin dan hari-hari besar keagamaan, dimana pada saat-saat tersebut masyarakat Kofiau tidak keluar untuk memancing. Tetapi saat ini para nelayan-nelayan tersebut sudah mulai berkurang untuk mencari di perairan Kofiau karena sudah adanya tim patroli masyarakat yang melaksanakan kegiatan pengawasan di perairan Kofiau dan Boo.
Menurut Yushein Umpain, seorang guru Pendidikan Lingkungan Hidup dari Kampung Deer, sejak dengan adanya kegiatan pengawasan atau patroli di perairan Kofiau dan Boo yang dilakukan oleh masyarakat pada awal tahun 2011, maka pemulihan pada terumbu karang mulai terlihat. “Dulunya ikan-ikan hilang dan karang rusak, sekarang ikan mulai kembali lagi.” ucapnya.
Data yang diperoleh dari Team Monitoring yang melakukan pemantauan kesehatan terumbu karang di perairan Kofiau dan Boo pada tahun 2013 menunjukkan bahwa terumbu karang yang sehat mencapai 75% sedangkan 25% terumbu karang di perairan Kofiau belum mengalami pemulihan. Pemantuan kesehatan terumbu karang yang dilakukan setiap tahun oleh TNC dan masyarakat ini bertujuan untuk bisa mengetahui berapa persen terumbu karang yang masih sehat atau mulai pulih, dan berapa banyak terumbu karang yang sudah mati.
Berdasarkan informasi tersebut, team pengawasan di perairan Kofiau dan Boo akan selalu terus dan terus melaksanakan kegiatan pengawasan untuk mencegah para nelayan dari luar yang datang ke Kofiau untuk mencari dengan menggunakan bahan peledak. Dengan begitu, terumbu karang di perairan Kofiau dan Boo akan membaik maka ikan berlimpah dan biota yang lain akan kembali.


(Teks: Otis Mambrasar/ TNC)
(Foto: Purwanto/TNC, Dwi Aryo Tjipto Handono/TNC, Nanang Sujana)











PENGALAMAN PRIBADI


PERJALANA MASA KULIAH-KU
Kuliah adalah salah satu impian terbesar saya ketika saya masih duduk di bangku SMP. Impian tersebut semakin terbayang-bayang dalam benak saya ketika saya beranjak SMA. Di masa itu, saya seringkali membayangkan betapa indahnya dunia perkuliahan, dimana cara berpakaian boleh bebas, tidak ada lagi guru yang mengatur-atur gaya rambut saya, dan tidak ada lagi saat-saat di mana saya harus berpacu dengan waktu untuk menghindari pintu gerbang yang akan ditutup. Selain hal-hal tersebut, saya juga menyangkan bahwa dunia perkuliahan itu tidak akan terlalu memusingkan, sebab apa yang akan saya pelajari kelak adalah ilmu tertentu yang bersifat spesifik, sehingga pikiran saya akan terfokus pada suatu bidang ilmu dan tidak bercabang ke mana-mana. Seperti itulah gambaran yang terbayangkan dalam benak saya mengenai dunia kuliah, betapa menyenangkan.
Waktu terus berlalu, sampai akhirnya tibalah saya pada suatu masa di mana saya telah dinyatakan lulus SMA serta harus memilih kampus yang akan menjadi tempat kuliah saya. Pikiran saya telah terlanjur senang dan bangga, sebab saya telah berhasil melalui masa-masa yang begitu menantang selama di SMA saya tercinta (SMEA YPK IMANUEL SORONG, PAPUA) dan sekarang telah tiba saatnya di mana saya akan menggapai salah satu impian saya, yaitu mengecap nikmatnya bangku perkuliahan. Banyak tawaran yang menggiurkan dari kampus-kampus yang ada di sekitar saya, baik kampus negeri maupun swasta. Setelah melalui berbagai pertimbangan dari faktor biaya, jarak, kualitas kampus, spesifikasi jurusan, dan faktor-faktor lainnya, maka saya dan orang tua akhirnya sepakat memutuskan untuk memilih Universitas Negeri Papua sebagai tempat kuliah saya serta memilih untuk menekuni bidang ilmu dalam jurusan Kehutanan di universitas tersebut. Masa-masa awal perkuliahan yang saya lalui di UNIPA sepertinya mirip dengan apa yang dialami teman-teman saya yang berkuliah di kampus lain, bahkan sepertinya OSPEK yang saya alami di Unipa tampaknya tidak seberat apa yang dialami teman saya di kampus lain. Singkat cerita, Masa Ospek selesai dan saya ditempatkan di semester, di mana saya bertemu teman-teman yang serba unik dan menyenangkan. Seperti kebanyakan orang, adaptasi adalah proses yang cukup menyulitkan dan akan menentukan citra diri seseorang selama dia berada di dalam lingkungan tersebut, hal itu pun berlaku bagi saya. Saya adalah seseorang yang berkarakter ‘agak’ pendiam, hal ini pun cukup menjadi penghalang tersendiri bagi saya dalam bergaul dengan teman-teman sekelas. Setelah menjalani perkuliahan selama satu minggu, saya mulai bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan kelas saya dan mulai dekat dengan beberapa teman. Suatu hari (kira-kira setelah dua minggu menjalani perkuliahan), tiba-tiba saya dipilih oleh teman-teman sebagai ketua kelas (entah untuk berapa periode...?). Seperti pada berbagai tempat di tanah air, hukum voting (pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak) pasti berlaku. Hal inilah yang membuat saya tidak dapat menolak hasil keputusan teman-teman sekelas. Sesudah hari pemilihan tersebut, dunia perkuliahan yang ada dalam benak saya selama itu tiba-tiba berubah 180°. Ternyata, kuliah itu tidaklah sesantai yang saya bayangkan. Banyak tugas-tugas yang harus dipenuhi, baik tugas-tugas yang berasal dari dosen, maupun tugas-tugas yang berasal dari kewajiban saya sebagai ketua kelas. Memang, sebenarnya tugas saya sebagai ketua kelas tidaklah begitu berat, seperti mengkoordinasi kelas dalam berbagai hal atau mempublikasikan hal-hal penting kepada teman-teman sekelas, namun di dalam setiap tugas-tugas tersebut sesungguhnya dituntut tanggung jawab dan rasa peduli dari diri saya demi kepentingan teman-teman sekelas. Dunia perkuliahan yang saya jalani selama semester pertama ternyata cukup berat dan tidak sesuai dengan khayalan saya selama ini. Meskipun demikian, terdapat berbagai hal dan peristiwa yang berkesan bagi saya. Hal-hal yang berkesan tersebut cukup menghibur saya di tengah-tengah kejenuhan yang sempat saya alami. Setelah melalui semester pertama, saya baru menyadari bahwa ternyata segala kesulitan yang saya alami selama ini cukup banyak memberikan manfaat bagi saya. Manfaat tersebut antara lain :
    a.  Mengasah kemampuan saya dalam memimpin sekelompok orang.
    b.  Melatih saya sebagai seseorang yang peka dan peduli terhadap lingkungan sekitar. 
    c.  Mengajarkan saya untuk tetap bersikap benar meskipun kenyataan yang saya alami tidak sesuai dengan harapan.
    d.  Membuat saya paham akan makna solidaritas yang sebenarnya (bukan solidaritas yang salah dan tidak bertanggung jawab).
Perkuliahan selama semester pertama bagi saya tidaklah seberat perkuliahan di semester kedua yang sedang saya alami saat ini (meskipun masa-masa sulitnya saat ini telah berlalu). Semester kedua merupakan masa di mana sangat banyak tugas yang harus dikumpulkan dalam waktu yang relatif cepat bagi saya. Tugas yang benar-benar berkesan adalah pembuatan Laporan Akhir Praktikum Tugas yang satu ini sangat berkesan bagi saya dan teman-teman di 1 Jurusan karena perjuangan yang telah kami lalui bersama cukup berat, banyak pengorbanan yang telah diberikan demi terwujudnya laporan tersebut. Proses pembuatan Laporan yang berat sesungguhnya memberikan makna tersendiri bagi kelas kami. Makna tersebut adalah semakin terasahnya kekompakkan kelas kami dalam menghadapi masa sulit bersama-sama. Di masa tersebut juga terjalin rasa saling mempercayai satu sama lain yang selanjutnya melahirkan solidaritas yang lebih tinggi lagi di antara sesama teman sejurusan, khususnya antar teman-teman sekelas. Begitu banyak manfaat dan makna di balik setiap masa sulit yang saya tempuh. Ketidaksesuaian antara khayalan saya selama ini tentang dunia perkuliahan dengan kenyataan yang terjadi dalam dunia perkuliahan sesungguhnya, sekarang dapat saya maknai sebagai suatu kenyataan yang harus saya tempuh sekalipun berat dan menuntut banyak pengorbanan. Saya merasakan kepuasan tersendiri setelah saya berhasil menuntaskan tugas-tugas berat tersebut. Saya menyadari bahwa “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senag kemudian”
Teks. Otis Mambrasar/TNC